Monday, February 25, 2008

OASE IMAN

Malam itu seperti biasa aku pulang dengan bus kota Patas AC 11 ke arah timur Jakarta. Lalu lintas yang padat menjelang Jalan Jenderal Sudirman memberi kesempatan pada dua orang pengamen untuk unjuk kebolehan “showbis” alias show di atas bis, demikian para pengamen jalanan menyebutkan media seni mereka.
Aku yang sedang terfokus pada dinginnya cuaca awalnya kurang perhatian pada penyanyi showbis tersebut. Setelah aku simak, barulah paham, mereka berdua membawakan lagu-lagu rohani kristiani. Hal yang lumrah bagi pemakai jasa bus kota mendengar lagu-lagu mereka. Sama halnya aku juga sering menyaksikan lagu-lagu Islami baik shalawat, nasyid, atau laug-lagu pop Islam lainnya.
Tetapi duo penyanyi rohani malam itu belum pernah aku lihat sebelumnya di Patas AC 11 yang setiap hari aku naiki pergi dan pulang kerja. Saat menyanyi, sang vokalis sering menyebarkan pandangannya ke seluruh tempat duduk. Mereka duduk di bagian depan menghadap ke samping bus. Sepertinya sedang menyapu siapa saja penumpang saat itu. Beberapa kali tanpa sengaja matanya menatapku yang duduk di bangku deretan tengah dekat jendela, sehingga ia harus memutar lehernya sekitar 100 derajat ke arah kanan untuk melihatku.
Beberapa kali handphoneku bergetar pertanda sms masuk, dan aku harus membalasnya, sehingga tatapan penyanyi rohani itu kurang aku perhatikan. Ketika sekitar 3 lagu sudah selesai, bus sudah memasuki Jalan Imam Bonjol. Si pemetik gitar masih memainkan gitarnya secara instrumentalia, si vokalis berorasi tentang nikmatnya bila beriman pada Yesus Kristus. Aku menyimaknya. Entah kenapa, pandangan matanya sering ke arahku yang harus memutar lehernya itu, kurang bersahabat. Kaget aku jadinya. Apa salahku? Selama dia menyanyi, aku tak bersuara, hanya sesekali membalas sms. Penumpang bus memang tidak sedang panuh, aku bisa duduk sendiri dalam deretan kursi bus. Oooh, mungkin karena aku berjilbab, sehingga mudah sekali baginya mengenali aku sebagai orang muslim? Bathinku menduga-duga.
Ucapan-ucapan orasinya jelas sekali, “Yesus bukan Tuhan, tapi Juru Selamat. Anda salah sendiri bila tidak beriman kepadanya. Anda semua dalam kesesatan. Terus terang saya bukan orang Kristen. Saya orang Islam yang karena kasih Yesus Kristus saya bisa berada di sini dan merasakan nikmatnya.” Aduh, kenapa juga pandangannya harus sinis ke arahku? Kalau mau orasi, ya silakan. Tapi jangan melecehkan begitu dong, dalam hati aku ngedumel. Seandainya dia memang benar-benar murtad dan menggadaikan keimanannya, tetapi kenapa harus mengajak orang lain dan berpandangan tak ramah kepada orang-orang muslim? Mereka bahkan melakukannya di atas bus kota. Memang sih bisa saja dia memang asli kristen dari kecil, tapi kenapa harus pakai cara culas? Aku mengomel sendiri dalam hati.
Ketika mereka sudah turun dari bus, aku ceritakan kejadian ke dua teman dekat lewat sms. Yang satu muslim, satunya lagi Kristen. Aku berani mengutarakan isi hati kepada teman yang non muslim itu karena kami sudah akrab sekali, jadi tak ada ganjalan untuk terus terang, meski soal keimanan kami yang berbeda.
Jawaban sms dari teman yang muslim sampai ratusan karakter karena banyaknya, “Orang seperti itu jangan dimarahi, justru haurs dikasih senyum, setelah nyanyi kasih dia uang 2 ribu, sambil ditanya, kurang apa tidak? Sebelum dia menajawb langsug kaish lagi 2 ribu. Diulang lagi kalau perlu. Insya Allah dia akan berpikir, kok cewek berjilbab PD banget dengan keIslamannya. Semoga kemudian hr nanti dia merenung kejadian itu dan memilih imanyangbenar. Atau kemudian hr dia nangis krn taubat dan bersyukur telah bertemu cewek berjilbab spt kamu ini.”
Sedangkan dengan santainya, teman non muslim menanggapi kejadian itu adalah bagian dari demokrasi. Katanya lewat sms, “Itulah demokrasi tanpa batas, bisa beropini bbs ttg apa saja, di mana saja, termasuk keimanan dan keyakinan. Dunia memang aneh, tapi nyata.”
Bus terus melaju menuju Rawamangun. Aku siap-siap turun di halte Arion Plaza. Balasan sms dari temanku yang muslim terus memenuhi kepalaku. Benar katanya, menghadapi orang seperti pengamen kristiani itu jangan dengan senewen atau jengkel. Aku jadi ingat kisah pengemis Yahudi buta yang setiap hari disuapi makan oleh Rasulullah meski dia selalu memaki-maki Rasul sebagai penyebar agama Islam. Tapi tak setitik pun rasa sakit hati di benak Rasulullah. Subhanallah, keikhlasan dan kesabaran yang seluas samudera. Rasul tanpa sakit hati tetap bersedekah memberi makan padanya, sampai suatu ketika Rasul wafat dan sahabat Rasul Utsman bin Affan menggantikannya menyuapi pengemis yahudi tersebut. Si pengemis merasakan benar jauh perbedaan tangan yang menyuapinya. Dia menangis menyesal, ketika sahabat Utsman bin Affan memberitahu bahwa yang selama ini menyuapinya dengan lembut adalah orang yang dia caci maki. Masya Allah, si Yahudui pun bersyahadat demi melihat kesopanan, kesantunan, dan kelembutan hati Rasulullah.
Aku meneruskan perjalanan ke rumah dengan bajaj. Ingin lekas-lekas sampai rumah. Kemudian mandi, berwudhu, dan shalat. Aku malu pada diri sendiri, kenapa harus jengkel dan menggerutu menerima pandangan mata sinis dari pengamen bus kota tadi. Bukankah dikisahkan, seorang ahli ibadah belum dikatakan ahli ibadah bila ia tinggal di gunung atau gua yang sepi. Ia boleh dikatakan ahli ibadah bila tinggal di kota besar dengan segala masalahnya dari masyarakatnya yang majemuk. Siapalah aku? Aku bukan ahli ibadah. Aku hanya seorang umat yang sedang mencoba khusuk dengan keimananku agar tak goyah diterpa godaan. Kenapa tidak sabar dengan ujian seperti itu? Maafkan aku, ya Allah….
( By Sri Haryati )

Thursday, February 07, 2008

Istana Bogor, Saksi Bisu Pelengseran Bung Karno


Setiap Juni Istana Bogor dibuka untuk umum. Selain kemegahan ruang, pengunjung boleh merenungi misteri tentang penggalan sejarah yang ditentukan dari tempat itu. Di salah satu ruang istana itulah Bung Karno menandatangani Super Semar yang berbuntut pada kejatuhannya. Lukisan WanitaBangunan seluas 1,5 hektar ini tampak megah dan kokoh. Perjalanan yang dimulai dari gedung sayap kiri melewati ruang kerja, ruang makan, perpustakaan, ruang tidur sampai ruang pertemuan yang disebut ruang teratai. Disebut demikian, karena di ruang itu terdapat lukisan bunga teratai. Ada beberapa ruangan tertentu yang tidak bisa dimasuki pengunjung. Padahal, di ruang-ruang tersebut banyak dihiasi lukisan, kebanyakan lukisan wanita yang beberapa di antaranya tidak menggunakan sehelai benang pun. “Tapi itu jangan dianggap porno, tapi sebuah karya seni,” tutur pemandu istana tentang lukisan yang rata-rata dibuat pada satu abad lampau. Seperti lukisan yang berjudul ‘Pesta Anggur’ yang berada di dekat ruang makan dibuat pada tahun 1881.Soekarno, Presiden I RI yang lama menghuni istana tersebut, memang gemar karya seni. Selain lukisan, di dalam istana juga terdapat koleksi guci, piring porselen dan patung. Untuk koleksi guci selain buatan Singkawang, ada juga yang dari Dinasti Ming abad 14. Ada pula lampu kristal yang menghiasi ruang-ruang utama. “Lampu ini dibeli di Cekoslovakia. Beratnya ada yang mencapai 500 kg,” tambah pemandu. BuitenzorgIstana Bogor mulai dipakai sebagai istana kepresidenan tahun 1950. Sebelumnya bangunan yang berdiri di tanah seluas 28,8 hektar ini difungsikan sebagai tempat tinggal Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adalah Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff yang menemukan lokasi ini. Sebuah catatan menyebutkan, pada 10 Agustus 1744 Imhoff melakukan inspeksi ke Cianjur, Jawa Barat, dan kemudian menemukan tempat yang dianggap strategis dan cocok untuk beristirahat yakni Bogor. Setahun kemudian ia memerintahkan membangun sebuah tempat peristirahatan yang gaya bangunannya meniru bangunan gedung Bleinheim Palace, rumah tinggal Duke of Malborough, di wilayah Oxford, Inggris. Tentu gaya bangunan yang kemudian terwujud belumlah semegah dan sebesar sekarang ini. Imhoff kemudian menamai duplikat Bleinheim Palace itu Buitenzorg atau San Souci yang artinya bebas masalah dan kesulitan.Tak sedikit Gubernur Jenderal yang menjabat setelah Imhoff kemudian mengadakan perubahan-perubahan bentuk bangunan. Begitu pula pada masa perang antara Indonesia lawan Belanda, banyak bagian Buitenzorg yang hancur dan kemudian diperbaiki. 12 RusaSelain menambahkan bangunan, ada juga gubernur jenderal yang memperhatikan keindahan di luar bangunan. Herman Willem Daendels, pembangun jalan Anyer-Panarukan, misalnya, malah mengupayakan adanya hewan-hewan liar yang akan dilepas di halaman pesanggrahan. Gubernur jenderal yang berkuasa antara tahun 1808-1811 itu mendatangkan 12 ekor atau enam pasang rusa yang berasal dari perbatasan India dan Nepal.Rusa-rusa ini kemudian dibiarkan lepas dan berkembang biak di lingkungan halaman istana. Kini rusa-rusa tersebut jumlahnya sudah mencapai 800-an. “Rusa-rusa tersebut tidak dikandangkan. Jadi mereka bebas berkeliaran di halaman,” jelas Nanung, seorang pemandu di istana itu. Tapi karena jumlahnya yang terus bertambah, beberapa kali pihak istana menyerahkan rusanya ke Taman Safari Indonesia. Bahkan pernah juga rusa-rusa ini diberikan kepada orang-orang yang memang mau memeliharanya. “Karena tempatnya sudah sangat sempit untuk jumlah yang besar itu,” lanjut Nanung.Tahun 1817, Prog G Reinwardt juga membangun sebuah kebun untuk tujuan ilmu pengetahuan di samping komplek Buitenzorg. Dengan menggunakan tanah seluas 111 hektar, kini kita masih bisa menikmati proyek sains yang kemudian dikenal sebagai Kebun Raya Bogor itu.Konferensi InternasionalKetika pemerintahan Republik Indonesia mulai terbentuk, penggunaan Buitenzorg yang kemudian berganti julukan dengan Istana Bogor itu semakin dimaksimalkan. Dari sinilah Istana Bogor kemudian juga menjadi saksi sejarah politik Indonesia. Bangunan ini lalu sering digunakan untuk menggelar konferensi internasional. Tanggal 28-29 Desember 1954 misalnya, dilangsungkan Konferensi Lima Negara. Lima hari terakhir di bulan Juli 1988 pembahasan masalah Kamboja dalam Jakarta Informal Meeting digelar juga di sana. Setelah itu menyusul pertemuan APEC tanggal 15 November 1994.Di sela-sela itu tentu agenda politik nasional Indonesia sering juga dibahas di dalamnya. Konon sebelum jatuh dari kekuasaannya, Soekrano, atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno, pernah berniat memanggil Jenderal Ahmad Yani untuk menemuinya di istana tersebut. Rencananya jenderal yang dikenal tegas menghadapi PKI inilah yang diminta Bung Karno untuk menggantikan posisinya bila situasi makin genting. Tapi nyatanya sejarah malah mencatat Soeharto sebagai pengemban tugas yang berbuntut pada peralihan kekuasaan itu Tak banyak saksi hidup yang bisa bicara karena konon ada juga pembicaraan empat mata dilakukan di sana.Yang mana yang benar semuanya memang masih samar. Tentu hanya Istana Bogor ini saja yang tahu. Masuk Tidak BayarMengingat besarnya nilai sejarah yang dikandung Istana Bogor, maka rasa-rasanya tempat ini sangatlah bagus untuk dikunjungi sebagai bagian dari usaha pendidikan. Prosedur mengunjungi tempat itu tidaklah sulit. Pimpinan rombongan hanya tinggal mengajukan surat permohonan untuk memberitahu pengelola kapan kunjungan akan dilakukan. Surat permohonan ini harus diajukan seminggu sebelumnya dengan dilampiri daftar peserta rombongan rangkap empat yang akan diserahkan ke bagian posko penjagaan, arsip, penerima tamu dan juga pemandu. Bila tak mau terpaku pada birokrasi tersebut, Anda bisa mencoba masuk pada saat ulang tahun kota Bogor. Biasanya pada saat itu, yang perlu Anda lakukan hanya mendaftar pada panitia pelaksana. Rombongan akan diberangkatkan bila jumlahnya sudah mencapai 50 orang. Yang perlu diingat, bila Anda hendak berkunjung ke Istana Bogor, pakaian yang dikenakan harus rapi. Untuk wanita, tidak boleh menggunakan segala jenis celana panjang dan juga kaus. Sedang para pria tidak boleh menggunakan celana berbahan jeans dan juga kaus. Kalau tidak, jangan salahkan bila para provoost akan menolak Anda masuk.Untuk semua keperluan itu para pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk. Cukup mereka memberi imbalan pada pemandu yang tidak ditentukan besarnya ya….sesuai kebijaksanaan pengunjung tamu saja lah….Ijin yang cukup rumit malah diperlakukan pada media masa. Ijin peliputan dan publikasi ini hanya diberikan jika media itu mendapat ijin dari pengelola pusat istana kepresidenan di Sekretariat Negara. Prosedur ini berlaku juga untuk peliputan-peliputan istana lainnya seperti Istana Cipanas, istana Yogyakarta, istana Tampaksiring dan Istana Jakarta sendiri. Dengan prosedur ini tak sedikit wartawan yang kecele karena mereka terlanjur datang tapi belum bawa ijin. Senior (Joned Suryatmoko/Diana Yunita Sari)