Friday, November 09, 2007

Mantan Pejuang Meratapi Kondisi Surabaya


Surabaya-RoL--Pemimpin Kota Surabaya dinilai mantan pejuang tidak mampu mempertahankan predikat Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Mereka menilai kini Kota Surabaya telah berubah menjadi kota yang tidak pernah mempedulikan peninggalan sisa-sisa perjuangan Sabtu 10 November 62 tahun silam.Selain itu, pemimpin Surabaya dinilai juga tak mampu mengambil ruhnyapara pahlawan, guna menggerakkan pembangunan Kota Pahlawan yangberpihak pada rakyat tanpa menghilangkan saksi-saksi kebesaran sejarah yangwajib dilestarikan.
Sebagai penyandang julukan Kota Pahlawan, Surabaya dinilai telahmembunuh ruh kepahlawanan. Hamparan Kota Surabaya tanpa lagi menyandangidentitas kepahlawanannya.
Saksi sejarah perjuangan 10 November 1945, Kadaruslan, misalnya,melihat dengan hati sedih gerak pembangunan kota ini. Sekujur kota, dariujung Menanggal hingga Ujung Kamal, terhampar identitas kebarat-baratan.
''Sejarah kawasan Wonokromo sebagai kawasan hijau seperti green beltKadipaten Suroboyo semasa kepemimpinan Kanjeng Gusti Adipati Jayengronosaat ini telah berganti menjadi areal Darmo Trade Centre (DTC) yang''sok'' modern, tapi panas dan semrawut, '' katanya Jumat.
Cak Kadar menambahkan: ''Keindahan Stasiun Semut tidak dapat lagidinikmati kecuali dengan mata nelangsa. Bukannya saya anti atau nggak maumembangun kota secara fisik. Boleh, tapi pembangunan itu juga harusdisesuaikan dengan budaya yang kita punyai.''
Pada peringatan 10 November ini, lelaki ini, yang juga akrab dipanggilLan Pendek di kampungnya, mengingatkan Pemkot untuk segera melakukanperbaikan dengan cara kembali ke khittah Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Tidak ada kata terlambat, tegasnya. Cara yang diusulkan ialah denganmenyebar tetenger atau tanda tugu sebagai bentuk sosialisasi. Hal inisangat penting untuk menyegarkan kembali ingatan generasi penerus akancitra kota.
''Bukan kita memberhalakan tetenger (bukti sejerah) ya, tapi ini supayaanak turun kita ngerti apa itu, bahwa disini ada ini, ini kenapabegini? Begitu. Contohnya Jembatan Merah, siapa yang nggak kenal JembatanMerah, sampai internasional tahu Jembatan Merah, ada lapangan Jayengrono(Taman Jayengrono), ada gedung Internatio. Siapa yang nggak kenal tigatempat ini, karena di situ pertempuran berkecamuk sampai JenderalMallaby pun mati. Nah, itu hendaknya dirawat, diperbaiki, dikasih monumen,'' imbuhnya.
Keprihatinan serupa disampaikan putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo.Menurutnya, watak arek Surabaya saat ini sudah tergerus oleh arusglobalisasi. Sayangnya, tidak ada pertahanan kuat yang dibangun olehpemerintah. Walhasil, sifat-sifat negatif saja yang terserap. Misalnya, sifatindividualisme yang menjadikan warga Surabaya tidak mau tahu kesusahanorang lain dan meninggalkan sifat asalnya yang memiliki solidaritastinggi. Begitu pula sifat konsumerisme yang menggejala membuat banyak orangmenjadi korup dan menghalalkan segala cara untuk mengeruk kekayaan.
''Kita harus bisa mengubah pola negatif itu minimal dari dirisendiri,'' tuturnya.
Dampak dari sifat-sifat buruk itu, yang terjadi di kota ini adalahkemiskinan masih menjadi hantu yang mengerikan. Lalu pengangguran yangberujung pada tingginya angka kriminalitas. ''Lihat saja, jalanan kota banyak ditemui pelacuran yang beroperasisecara terbuka, dan kasus-kasus kriminal yang silih berganti,'' tuturnya.
Pengamat perkotaan dari Unair, Dr Suparto Wijoyo, menilai jiwa ksatriawarga Surabaya saat ini sedang terkikis habis. Rakyat Surabaya terancamkehilangan jati dirinya. Warga dikepung penggila budaya yang konondianggap modern. Perumahan-perumahan mewah justru berdiri di tanah-tanahyang semula milik warga asli Surabaya.
Tanah-tanah pertanian itu telah ditanami gedung-degung perkantoran danpertokoan yang menantang langit. Pusat-pusat bisnis dilahirkan tanpakendali. Surabaya pun jadi belantara beton.
''Warga kecil dekil terus terkikis tanpa ampun. Tanah-tanah wargaterancam diserobot dengan dalih pembangunan. Aduh kok ngeri banget sayamembayangkan nasib Surabaya ke depan,'' sindirnya.pur

0 Comments:

Post a Comment

<< Home