Saturday, September 22, 2007

Minyak, Iran, dan Bush


MINYAK sering kali menjadi pemicu terjadinya pertikaian. Pada masa Perang Dunia II, salah satu pertimbangan utama militer Jepang menyerang Asia Tenggara adalah menguasai minyak Indonesia untuk mendukung politik ekspansionisnya. Pada masa sekarang, di mana laju industrialisasi sangat bergantung kepada pasokan bahan bakar fosil, minyak telah menjadi poin penting dalam isu keamanan nasional (national security) banyak negara.

Kawasan Timur Tengah, yang menyumbang 80 persen minyak dunia yang ada, menjadi arena adu kekuatan demi mendapatkan minyak. Perang Teluk I antara Irak-Iran 1980-1988 dan invasi Irak ke Kuwait Agustus 1990 dipicu masalah minyak. Berbagai kalangan menduga minyak menjadi motif utama invasi Amerika Serikat ke Irak Maret 2003. Faktor minyak juga diduga bermain dalam kasus nuklir Iran yang belum menunjukkan penyelesaian hingga saat ini.

Politik minyak

Dalam bukunya yang berjudul The Age of Turbulence: Adventures in a New World", Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS selama 18 tahun mengatakan, perang Irak semata-mata didasarkan atas kepentingan minyak. Pernyataan Greenspan tersebut menguatkan pernyataan Menteri Pertahanan Australia, Brendan Nelson, yang 5 Juli 2007 mengungkapkan bahwa motif keberadaan pasukan Australia di Irak adalah untuk mengamankan pasokan minyak Irak.

Sebelum rudal Tomahawak menghajar Bagdad 20 Maret 2003, Presiden George W. Bush berulang-ulang mengatakan, invasi ke Negeri Seribu Satu Malam itu tidak dapat dielakkan, karena rejim Saddam Hussein berusaha membuat senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction/WMD). Untuk meyakinkan dunia, Menteri Luar Negeri AS saat itu, Colin Powell, 5 Februari 2003 melakukan presentasi di depan sidang Dewan Keamanan PBB, dengan menampilkan sejumlah dokumen intelijen yang melaporkan kegiatan proliferasi WMD oleh rejim Bagdad.

Masih belum cukup, Gedung Putih juga menuduh Saddam Hussein melindungi kelompok teroris yang bertanggung jawab terhadap serangkaian aksi terorisme di AS. Berdasarkan pre-emptive policy yang dijalankan pascatragedi 11 September 2001, AS berhak menyerang Irak meskipun tanpa mandat PBB. Alih-alih menemukan dan menghancurkan WMD, pasukan AS dan sekutunya, hingga hari ini atau empat tahun pascainvasi, tidak menemukan satu pun WMD.

Melihat kenyataan tersebut, analisis Greenspan sungguh tepat. Presiden Bush, yang juga seorang pengusaha minyak dari Texas, menggempur Irak untuk menguasai minyaknya. Angka statistik menunjukkan, Irak memiliki cadangan minyak bumi mencapai 115 miliar barel atau terbesar ketiga di dunia, setelah Arab Saudi dan Iran. Pada masa damai, ladang minyak Irak mampu memproduksi dan menghasilkan minyak hingga 3 juta barel per hari, kemudian menurun hingga di bawah 2 juta barel per hari pascainvasi.

Invasi ke Irak juga membawa berkah tidak terkirakan bagi kontraktor-kontraktor swasta AS yang dekat dengan Gedung Putih, seperti Halliburton, Blackwater USA, Bechtel Group, Parsons Corp, dan lainnya. Untuk melaksanakan program pembangunan kembali Irak, Halliburton, perusahaan dari Houston, Texas, mendapat kontrak sekitar 16 miliar dolar AS untuk membangun kembali industri minyak Irak, mendirikan pangkalan-pangkalan militer, hingga mencuci pakaian tentara AS yang berperang di Irak.

Namun demikian, pundi-pundi dolar yang didapat atas minyak Irak tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Irak sendiri. Negeri yang dahulu sempat menjadi pusat kekuasaan Khalifah Abbasiyah sekaligus pusat peradaban dunia Islam selama 500 tahun, kini tidak lebih dari kuburan massal bagi masyarakatnya. Masa pendudukan pasukan asing yang telah berlangsung sejak 2003 tidak memberikan kondisi yang lebih baik dari era sebelumnya.

Serangan bom, konflik sektarian Sunni-Syiah yang mengarah kepada perang saudara, hingga meluasnya aksi kelompok-kelompok teroris menjadikan Negeri Abunawas tersebut semakin terpuruk. Aksi kekerasan yang tidak berkesudahan, telah membuat sedikitnya 100 ribu rakyat sipil Irak menemui ajal. UNHCR menyebutkan sedikitnya dua juta rakyat Irak menjadi pengungsi di Suriah, Yordania, Lebanon, dan Mesir. Konflik sektarian membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak antargolongan.

Pembangunan Tembok Bagdad oleh pasukan pendudukan sepanjang 5 km yang melingkari distrik Sunni Adhamiya, menjadi indikasi masih jauhnya prospek rekonsiliasi di antara kelompok masyarakat. Konflik di Irak menjadi salah satu bencana kemanusiaan terbesar Pascaperang Dunia II.



Iran berikutnya?

Berkaitan dengan program pengayaan nuklir Iran, DK PBB telah mengeluarkan dua resolusi, yaitu Resolusi 1737 yang dikeluarkan 23 Desember 2006 dan Resolusi 1747 yang dikeluarkan 24 Maret 2007. Resolusi 1737 menetapkan sanksi ekonomi-militer terbatas. Sedangkan Resolusi 1747 berisi pelarangan ekspor senjata terhadap Iran dan pembekuan aset-aset Garda Revolusi. Publik internasional masih menaruh harapan tinggi, terhadap upaya diplomasi untuk menyelesaikan persoalan nuklir Iran.

Namun demikian, pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis, Bernard Kouchner, 16 September 2007 yang memperingatkan dunia untuk siap berperang melawan Iran, jika Teheran tetap kukuh melanjutkan program pengayaan nuklirnya, merupakan sinyal kuat bahwa bola api tidak hanya dapat membakar Irak melainkan juga dapat menjalar ke Iran. Satu hal yang pasti, ancaman perang Menlu Prancis tersebut dapat memengaruhi upaya dialog antara Iran-IAEA dan membuat Timur Tengah semakin tenggelam dalam ketidakstabilan.

Hingga kini, Teheran tetap bergeming untuk melanjutkan program nuklirnya. Berlawanan dengan anggapan Barat yang menuduh Iran berusaha melakukan proliferasi senjata nuklir dengan menggunakan kedok program nuklir untuk kepentingan sipil, Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad membantah tuduhan Barat dengan mengatakan, program pengayaan nuklir diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik dan industri Iran yang semakin berkembang. Dalam tulisan Smith Alhadar (Kompas 12/08/05) disebutkan, kebutuhan listrik Iran terus meningkat sekitar 7-8 persen per tahun. Akhir 2005, kebutuhan listrik dalam negeri Iran mencapai 36 ribu MW.

Pemenuhan kebutuhan listrik tersebut akan terasa mahal, jika bergantung kepada bahan bakar fosil yang harganya semakin melonjak, sementara kapasitas produksi minyak Iran tidak optimal akibat sanksi yang diterapkan AS. Reaktor-reaktor nuklir yang berada di Bushehr, Isfahan, Natanz, dan Arak diharapkan mampu memenuhi kebutuhan listrik Iran.

Dalam strategi global AS, kebijakan utama Negeri Paman Sam di Timur Tengah adalah bagaimana menguasai cadangan minyak yang melimpah ruah di kawasan tersebut, selain melindungi eksistensi Israel. Teori ekonomi-politik memberikan petunjuk, siapa yang menguasai minyak, dialah yang menjadi penguasa dunia. Minyak menjadi nyawa untuk menggerakkan industri, mesin-mesin pabrik tidak dapat berjalan jika minyak langka.

Tingginya pertumbuhan industri dua raksasa baru, Cina dan India, yang sangat rakus akan bahan bakar fosil, memaksa AS maupun negara-negara industri tradisional di Eropa Barat mengamankan kepentingan minyaknya di Timur Tengah. Bahkan, jika perlu menggunakan segala cara termasuk membom, membunuh penduduknya, dan menduduki negara dengan kekayaan minyak yang melimpah. Setelah Irak yang kaya minyak, sekaligus menjadi musuh besar Israel di bawah pemerintahan Saddam Hussein takluk, tidak tertutup kemungkinan Iran menjadi target berikutnya.

Selain menjadi seteru Israel paling radikal saat ini, Iran, yang oleh Presiden Bush disebut sebagai anggota Poros Setan (axis of evil) bersama dengan Irak dan Korea Utara pada pidato tahunan (State of the Union Address) 29 Januari 2002, memiliki cadangan minyak bumi terbesar kedua di dunia sebanyak 125,8 miliar barel. Selain itu, Iran menyimpan cadangan gas alam hingga mencapai 940 triliun kaki kubik atau kedua terbesar di dunia setelah Rusia. Adanya rejim Teheran yang mbalelo dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan pasokan minyak dan hal tersebut berbahaya bagi keamanan nasional AS, negeri yang oleh pemimpin besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini, disebut sebagai Setan Besar (The Great Satan) karena mensponsori korupsi dan imperialisme di seluruh dunia.

Apa yang patut menjadi concern dunia saat ini, termasuk pemerintah dan masyarakat Indonesia, adalah mengawasi dengan seksama perkembangan yang terjadi atas Irak maupun masalah nuklir Iran. Illegitimate invasion ke Irak, memberikan preseden buruk mengenai legitimasi yang dapat direkayasa, rendahnya penggunaan mekanisme diplomasi, dan penerapan aksi militer tanpa mandat PBB sebagai representasi kepentingan publik internasional. Isu nuklir dapat dijadikan dasar legitimasi untuk melakukan serangan militer terhadap Iran. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, kembali kontraktor-kontraktor raksasa multinasional AS yang akan mendapat durian runtuh dengan mengorbankan penduduk sipil. Dan masyarakat Indonesia akan ikut menanggung dampaknya berupa kemungkinan naiknya harga BBM akibat meroketnya harga minyak dunia.***

Penulis, Anggota Komisi I DPR RI.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home